Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2012

Bdg 26 Mei 2010

Kelopak mata yang membuka dan menutup secara konsisten sepanjang malam air mata yang mengering di pipi dan daun bawah mata yang menghitam dalam semalam dikompensasi dengan pagi yang cerah dengan matahari yang terang menyengat ada perasaan aneh ketika itu pagi yang baru dan terasa aneh tanpa dia dan pagi itu langit-langit kamar tiba-tiba serasa rapuh matahari yang tersenyum tak tulus mendadak lumpuh tawa-tawa nan jenaka dari lingkungan-lingkungan yang terasa asing tawa dan canda menguap seolah kelucuan kehilangan nyawanya hari itu muram dan suram adalah aura hitam yang melengkapi pagi temaram dan burung-burung terhindar dari segala udara kotor di pagi hari tapi ada satu pria kehilangan jiwa pagi itu dan tak bisa mengobati bahkan bertahun-tahun setelahnya ada yang aneh ketika dunia mulai bangun dari peraduannya sinar terik yang menerpa wajah, indah tapi hambar tak ada rasa, begitu terik tapi tawar dan di pagi yang cerah itulah, segala rasa riang tercabut dari akar-ak

Wajah Muram Aceh

Aceh kian meriang, sempat kolaps akibat tsunami dahsyat di penghujung 2004 dan bangkit di tahun-tahun setelahnya Aceh kembali terkapar dengan potensi perang saudara yang begitu terbuka. Pengalaman hidup di dalam peperangan ideologi dan karisma gerilya di hutan-hutan rupanya tak membersitkan ide damai sedikitpun di benak eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Ladang pertarungan bukan lagi di tengah hutan dan di gunung-gunung terpencil Ladang pertarungan berpindah ke gedung parlemen dan sektor-sektor pemerintahan mengebiri anggaran dan kekuasaan untuk partai lokal berkuasa. Satu hal yang mungkin akan disesali leluhur-leluhur kita semua. Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Sultan Iskandar Muda, Panglima Polem, hingga Tengku Daud Beureuh mungkin akan menangis melihat peperangan dalam sekam yang terjadi di Aceh sekarang Ide mendirikan kemaslahatan otonom murni bagi segenap bangsa Aceh sepertinya jauh panggang dari api Eks kombatan kian menjauhkan diri dari poros Jakarta mengebiri

Bdg 25 Mei 2010

25 Mei 2010 Hujan turun begitu tak sopan sedari jam 3 sore. Dan saya masih tercenung berpikir apa yang menjadi beban pikiran selama beberapa hari. dia, pulang ke jakarta selama 2 minggu dan kami benar-benar hilang komunikasi tapi entah kenapa perasaan saya mulai tak enak sepertinya sesuatu yang saya khawatirkan akan terjadi sebentar lagi hujan masih cukup deras dan perut sudah meronta minta diisi saya bergegas mengambil helm dan memakai jaket dua lapis untuk menahan dingin masih ada harapan setidaknya, bilamana mungkin saya akan bertemu dia di jalan sore itu, langit berubah menjadi gelap kebiru-biruan. mikrofon mesjid bergaung dan menimbulkan suara nyaring meski sayup motor saya sudah sampai di bundaran ketika saya tanpa sengaja mengenali sosok yang saya rindukan berjalan mengenakan sweater biru dongker tertawa bersama teman-temannya. itu dia. motor pun saya rem dan  menimbulkan suara yang tidak enak percikan air dari genangan membasahi trotoar di tepian saya menaw

Monolog Penantian

Berhari-hari setelah email terakhir masuk ke inbox saya, tak ada balasan, tak berbekas sama sekali. Begitu pun lewat medium facebook, tak ada respon sama sekali. Mungkin ini jawaban yang wina beri dalam diamnya. Tak ada masalah. Toh, memang tak bagus juga untuk dipaksakan. Tapi, seperti yang saya bilang sebelumnya. saya akan tetap menunggu. kecil memang kemungkinannya untuk berharap pada hadirnya mukjizat. saya bukan nabi dan malaikat yang memiliki keistimewaan magisnya sendiri-sendiri. Saya cuma pendosa biasa yang mungkin malaikat pun malas menghadapkan mukanya pada saya. Tapi, tak apa. Toh, karena hal-hal seperti ini sudah menjadi santapan biasa. Dan karenanya, saya sudah mulai terbiasa hidup dalam penantian seperti ini. Kalaulah usaha-usaha kemarin tersebut adalah kesempatan terakhir saya. Dan dia tetap menolak dalam diamnya. Saya akan coba terima dan pahami situasinya. Tak masalah dan saya dengan tulus berdoa semoga dia diberikan laki-laki terbaik untuk mendampi

Pria Berhati Emas itu Bernama Morosini

Gambar
Piermario Morosini ( Courtesy bleacherreport.com )   12 April 2012, Seorang pemain terlunta-lunta di atas lapangan hijau, memberi isyarat pada sang pengadil bahwa ia lemas dan tak cukup kuat untuk melanjutkan pertandingan, wasit tak bergeming, namun rekan-rekan setimnya panik mereka mengusap muka mata-mata mereka berubah menjadi mata-mata yang nanar diliputi kegelisahan semua mata itu kini menatap pada lelaki yang terlantarkan itu lelaki itu terkapar, diam kini semua mata bertatapan dan angin kerisauan menyelimuti tiap orang yang hadir pada pertandingan itu Ya, angin kerisauan yang kini berubah menjadi tangis selamat tinggal, selama-lamanya. Pria itu bernama Piermario Morosini . Meninggal dikarenakan cardiac arrest di atas lapangan hijau, tak lama setelah insiden mengerikan yang menimpa Fabrice Muamba di Inggris. Seketika orang berebut ingin tahu siapa sosok Morosini sebenarnya Dan seketika seluruh penonton dan aktivis sepakbola memberikan penghormatan tertinggi

Menunggu

Ibu saya pernah berkata betapa saya begitu mirip dengan ayah saya. Dari ujung rambut, raut muka, hingga panjang kuku jari jempol kami bahkan benar-benar mirip Tak hanya itu, saya pun memang tak bisa mengelak untuk dibanding-bandingkan dengan ayah karena memang kenyataan bahwa saya terlahir sebagai anaknya, itu merupakan fakta absah Tapi, saya jelas tidak mirip dengan ayah soal cinta terkecuali soal respek kami yang tinggi terhadap perempuan Ayah saya begitu mencintai ibu saya secara nyata dengan perbuatan, tanpa lisan Sedangkan saya, saya lebih agresif dibanding ayah saya saya lebih agresif dalam lisan dan perbuatan, yang mungkin membuat jengah perempuan-perempuan yang saya dekati. Negatifnya, kadang saya lebih rapuh daripada ayah. Pengaruh hidup di tengah-tengah perempuan di keluarga saya, saya sadari saya menjelma menjadi laki-laki yang terlalu sensitif terlebih lagi, kebodohan saya yang acapkali kumat ketika saya jatuh cinta mengundang kritik keras, utamanya dari ibu s

Ah, Realita. Ah, Kenyataan.

kemarin lusa, wina akhinya menyapa lewat email. Dia mungkin gak bisa liat, betapa saya terjingkrak-jingkrak tak percaya melihat namanya ada di inbox saya. mimpi apa saya semalam, kami cuma ngobrol sebentar. sudah lama saya sebenarnya ingin menyapa dia terlebih dahulu, tapi ada rasa waswas bahwa dia masih marah pada saya jadi saya urungkan niat itu, sampai datang email darinya kemarin saya pikir jalan untuk rekonsiliasi (baca: balikan) akan terbuka lebar Oleh karena itu, saya dengan tanpa pikir panjang segera mengirim email lagi padanya pada keesokan paginya saya cuma ingin minta nomor teleponnya. saya kurang beruntung. Entah karena alasan yang saya tidak tahu pasti saya tidak tahu apakah dia menerima, membaca atau mungkin tidak sempat membaca email tersebut atau mungkin membaca email tersebut tapi tak ada respon sama sekali mungkin saya yang terlalu kegeeran dan percaya diri bahwa masa indah yang dulu pernah saya alami akan terulang lagi mungkin dugaan saya salah, mun