Wajah Muram Aceh

Aceh kian meriang,
sempat kolaps akibat tsunami dahsyat di penghujung 2004 dan bangkit di tahun-tahun setelahnya
Aceh kembali terkapar dengan potensi perang saudara yang begitu terbuka.

Pengalaman hidup di dalam peperangan ideologi dan karisma gerilya di hutan-hutan
rupanya tak membersitkan ide damai sedikitpun di benak eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Ladang pertarungan bukan lagi di tengah hutan dan di gunung-gunung terpencil
Ladang pertarungan berpindah ke gedung parlemen dan sektor-sektor pemerintahan
mengebiri anggaran dan kekuasaan untuk partai lokal berkuasa.
Satu hal yang mungkin akan disesali leluhur-leluhur kita semua.
Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Sultan Iskandar Muda, Panglima Polem,
hingga Tengku Daud Beureuh mungkin akan menangis melihat peperangan dalam sekam yang terjadi
di Aceh sekarang

Ide mendirikan kemaslahatan otonom murni bagi segenap bangsa Aceh
sepertinya jauh panggang dari api
Eks kombatan kian menjauhkan diri dari poros Jakarta
mengebiri Aceh, menyunat kedaulatan bangsa Aceh atas nasib hidupnya sendiri.

Upaya-upaya sistematis konyol pun digelar
dengan semangat, antek-antek partai lokal paling berkuasa di sana
menyusupkan ide lawas : membidani reinkarnasi posisi wali Nanggroe
posisi sakral yang kabur secara adat maupun struktural pemerintahan
posisi yang dahulu ditempati oleh pentolan GAM, Alm. Hasan Tiro.

Perang kian panas di Banda Aceh untuk meng-gol-kan posisi ini
sebuah posisi superbody yang menaungi Gubernur dan Majelis Ulama  di bawahnya
mereka yang mendukung berkelit dengan alasan
bahwa Aceh memang layak memiliki posisi ini
berdasarkan kebutuhan keberlangsungan adat dan budaya
seperti layaknya posisi Sultan di Yogyakarta.

Tapi, menurut saya, ide absurd ini kian absurd.
apabila kita konsisten dengan ide tentang Wali Nanggroe sebagai pemangku adat
yang diberlangsungkan dalam koridor monarkhi seperti halnya posisi Sultan di Yogyakarta,
maka seharusnya pemangku posisi Wali Nanggroe adalah keturunan berdarah biru
yang secara hakiki memiliki pertalian darah dengan sultan Aceh terakhir,
Sultan Muhammad Daud Syah.

sayangnya, Kesultanan Aceh Darussalam telah berakhir sejak lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka
sehingga premis berkelit tentang posisi Wali Nanggroe sebagai posisi yang melanjutkan  otoritas Sultan
semasa masih dalam koridor Kesultanan Aceh Darussalam,
benar-benar salah.
Pertanyaan selanjutnya, Apakah Malik Mahmoud - kandidat terkuat yang diusung untuk menduduki posisi wali Nanggroe sekaligus eks juru runding GAM - benar-benar memiliki pertalian darah setidaknya dengan sultan Aceh Darussalam terakhir, Sultan Muhammad Daud Syah.
jawabannya tidak. Dan premis ini sudah menjadi invalid dengan sendirinya.

Lalu, mereka - you know who - berkelit dengan mengatakan posisi ini akan ditempati oleh seorang figur
tokoh Masyarakat Aceh yang didukung oleh segenap masyarakat Aceh.
Pertanyaan pertama: Mengapa harus Malik Mahmoud?
Pertanyaan kedua: Apakah segenap bangsa Aceh setuju jika Malik Mahmoud menduduki posisi Wali Nanggroe?
Well,
meskipun harus dilakukan referendum untuk mengetahui ini,
saya sebenar--benarnya yakin bahwa jawaban masyarakat Aceh adalah tidak
setidaknya jika referendum diadakan secara demokratis dan bukan di bawah ancaman laras AK-47

Lalu, siapa yang akan menghentikan parodi konyol eks kombatan-kombatan GAM ini?
sedihnya, sejauh ini tidak ada yang berdaya.
Parlemen Aceh (DPRA) yang mayoritas dikuasai oleh orang-orang GAM tentu akan mendukung ide absurd ini dengan tenaga, uang, dan bahkan senjata.
Terlalu dominannya mereka, hingga legislator-legislator lain menjadi tidak berdaya
dan mulai bermain pelan-pelan mengingat intimidasi psikis dan fisik
yang bisa saja dilakukan oleh orang-orang gila perang ini.

Secara jangka pendek,
mereka - eks GAM - bahkan sudah pede bahwa ide ini akan diterima
sehingga mereka pun berani menganggarkan dana yang tak kecil
untuk membangun istana 'wali' yang megah

Di tengah-tengah kemiskinan dan kurangnya edukasi yang rendah bagi rakyat Aceh
bangunan itu seolah menjadi manifestasi paradoks yang tidak lucu sama sekali.

Secara jangka panjang,
Mereka - eks GAM - yang berkuasa saat ini baik di eksekutif maupun legislatif,
benar-benar memblok kans kandidat independen untuk bertarung terbuka di ajang Pilkada
dan eksesnya adalah,
pertarungan akan berat sebelah dengan kompetitor dari partai lokal lain
yang kian lemah darah menghadapi hegemoni partai penguasa
plus,
cerita-cerita miring soal akar rumput mengenai intimidasi langsung pada rakyat
dan serangan fajar yang terjadi pada pagi di hari pemilihan
memang bukan sekedar dongeng.

Ya, inilah Aceh.
Jika serangan fajar di pemilihan kepala daerah lain
dilakukan dengan memberi bingkisan dan uang untuk menyuap rakyat.
Di Aceh, ini terjadi secara berbeda.
Ancaman rumah terbakar hingga teror-teror mengerikan
sudah cukup untuk mengarahkan rakyat Aceh bersikap pragmatis pada pemilihan

Ya, ketakutan akan perang yang telah terjadi selama lebih dari 30 tahun akan terulang kembali
merupakan teror terbesar kedua setelah bencana tsunami
yang dapat benar-benar  mengerdilkan nyali rakyat Aceh di level akar rumput.

Dan ketika di Jakarta Jokowi dan Ahok sukses menggapai posisi eksekutif yang mapan
dan hadir sebagai harapan baru
saya pun berharap,
kelak ada intelek-intelek Aceh yang sadar dan berani bersama-sama
untuk meruntuhkan parodi-parodi tak lucu yang dimainkan oleh para eks GAM tersebut.

Solusi pertama untuk ini adalah
fokus pada pendidikan
jadikan generasi berikutnya generasi yang intelek dan well-educated
plus kritis
sehingga bisa menghadirkan Aceh baru yang maslahat bagi setiap elemen di dalamnya
.
saya sudah kehilangan harapan dengan pemuda Aceh di generasi saya yang lebih suka menghabiskan waktu di warung kopi tanpa sekalipun pernah mau kritis melihat dilema yang menganga di depan mata mereka.

Menyedihkan bahwa kami saat ini dipimpin oleh seseorang yang bahkan berbahasa Inggris pun tak fasih,
Menyedihkan bahwa kami saat ini dipimpin oleh seseorang yang bahkan tidak bisa menyusun kata - kata yang tepat dalam sebuah pidato

Pemimpin kami cuma tahu perang dan perang
Saya khawatir rakyat Aceh akan selamanya hidup dalam lingkup perang dan konflik yang traumatik.
Lingkup yang sengaja diciptakan untuk memuluskan kemaslahatan sebuah golongan
dan bukan kemaslahatan Aceh secara umum.
Ya, Dengan sedih saya mengatakan Aceh kembali meriang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fakta dan Cerita di Balik Lagu-lagu OASIS

Bandung

Sandwich Generation My Ass