Yang Benar atau Yang Biasa?

Sedari SMP saya sudah dimusuhi beberapa orang kawan karena menjadi whistleblower yang membocorkan nama-nama kawan tersebut kepada guru Agama Islam ketika itu. Simpel saja, karena mereka saling bekerja sama ketika ulangan. Dan pada hari yang menyakitkan untuk seorang anak berusia 12 tahun, saya mengambil banyak pelajaran keras mengenai keterasingan yang menghantui kebenaran dan idealisme.

Saya datang sebagai alumni Sekolah Dasar Islam di Bandung ketika itu. Saya adalah produk sistem pendidikan sekolah yang mengusung tinggi integritas di mana mencontek tidak dapat diterima apapun alasannya. Lalu, ketika saya lulus saya langsung tercebur dengan lingkungan yang 'tidak biasa' itu dan mengalami gegar budaya dalam hal pelumrahan contek mencontek.

Saat itu, beberapa siswa yang mengklaim diri mereka bersih membentuk aliansi bernama ISAKS yang merupakan akronim dari Ikatan Siswa Anti Kerja Sama. Sebuah breakthrough yang menarik dari sekumpulan anak ingusan berusia 12 hingga 14 tahun. Namun, semua tidak selalu berjalan lancar dan lagi-lagi saya melihat betapa idealisme begitu mudah luntur. Pelajaran yang lagi-lagi saya resapi ketika mendapatkan kawan-kawan ISAKS saya tiba-tiba merubuhkan surau idealisme mereka sendiri dengan alasan Ujian Nasional dan solidaritas.

Saya? Saya juga terseret ke dalam lingkaran setan itu selama SMP dan seketika merasakan kebal terhadap kegiatan tercela yang dianggap sebagian orang sepele tapi amat berbahaya. Saya terseret karena mendapati diri saya mulai diisolasi oleh teman-teman yang melumrahkan hal itu.

Hal itu masih menaungi saya hingga muncul sedikit kesadaran dalam diri ketika saya mulai memasuki iklim kampus. Saya merasa beruntung ketika masuk ke iklim kampus yang kondusif untuk menumbuhkan benih-benih kritis dan idealis dari seorang mahasiswa. Dengan doktrin agen perubahan yang diusung ketika ospek, saya perlahan mulai kembali ke idealisme awal, idealisme yang benar. Kali ini tidak lagi dalam scope yang sempit seperti mencontek, namun dalam hamparan ruang yang lebih luas.

Saya mulai reaktif dan kritis kepada siapapun yang saya anggap tidak benar. Saya pribadi mengajukan mosi tidak percaya dengan BEM yang mulai diinfiltrasi kepentingan-kepentingan eksternal seperti sayap gerakan parpol. Saya juga mengkritik kebijakan rektorat yang kian hari kian menjepit posisi mahasiswa-mahasiswa yang kurang beruntung secara finansial. Semua dilakukan melalui satu media: Surat Kaleng.

Surat Kaleng merupakan media yang ampuh untuk tetap berada di koridor yang disesaki idealisme liar namun tetap aman dari jangkauan ancaman drop-out yang mengintai dikarenakan identitas yang tersamarkan. 

Hampir setiap malam, saya bergerilya ditemani dengan seorang teman untuk menempelkan surat-surat kaleng di papan pengumuman yang berada di salah satu gedung kuliah. Papan pengumuman itu begitu strategis karena menjadi persinggahan mahasiswa yang akan dan telah menghadiri sesi kuliah di gedung itu. Tanpa bermaksud narsis, 'gerakan surat kaleng' ini mewabah dan menggelinding bak bola es yang jatuh secara liar. Papan pengumuman penuh dengan jeritan ketidakpuasan baik terhadap BEM maupun rektorat. 

Idealisme mahasiswa itu rupanya masih terbawa ketika masuk ke dunia kerja. SOP yang amburadul, peran kerja dalam organisasi atau tim yang tidak jelas, kepemimpinan atasan yang tidak kompeten dan cenderung lemah menjadi sasaran kritikan saya. Hal ini membuat saya menjadi tidak begitu populer dan disukai oleh beberapa teman yang terusik dan bahkan atasan yang terang-terangan mengintervensi layanan kepegawaian yang berhak saya terima.

Keterasingan bukan hal baru bagi saya. Ayah saya semasa kerjanya bagaikan terisolasi di tempat ia bekerja dikarenakan terlalu vokal mengungkap kecurangan-kecurangan dan penyelewengan-penyelewengan yang jauh dari prinsip transparansi. Ayah saya, didemosikan dari posisi wakil kepala kantor menjadi staff biasa dikarenakan secara berani memberhentikan salah satu bawahannya ketika itu. Celakanya, staff yang diberhentikannya itu memiliki ikatan kekerabatan dengan pejabat di kantor wilayahnya. Meski begitu, Ayah saya tidak peduli.

Satu hal yang saya pelajari dari prinsip memegang teguh apa-apa yang benar adalah  kesiapan menghadapi konsekuensi terberat: pengucilan. Bahkan, ungkapan Soe Hok Gie soal lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan menunjukkan kepada kita betapa hukuman sosial terberat yang dihadapi adalah pengucilan sosial. Berat karena kita, manusia, adalah makhluk sosial. Bagaimana jadinya ketika sesosok makhluk sosial yang dikerangkeng hak-hak bersosialisasinya? Bukankah secara hakikat sama saja dengan membunuh makhluk tersebut?

Ancaman pengucilan bukanlah satu-satunya yang dihadapi orang-orang yang ingin mengubah persepsi lingkungan terhadap idealisme. Ancaman kematian tak wajar bahkan menghinggapi orang-orang yang bekerja keras siang malam untuk mengubah keburukan yang dianggap biasa menjadi keburukan pada posisi harfiahnya. Munir adalah contoh nyata betapa ancaman kematian itu bisa saja sewaktu-waktu datang tanpa mampu diungkap siapa aktor intelektualnya.

Lalu, dimanakah kita seharusnya berdiri? Bersikap permisif terhadap keburukan-keburukan yang dipandang lumrah dan wajar ataukah berteriak menyerang agresif keburukan-keburukan tersebut dan melakukan re-persepsi terhadap keburukan-keburukan itu?

Yang jelas, kebenaran akan selalu menemukan hakikatnya. Pengabdian yang tulus terhadap kemanusiaan dan apa-apa yang memang benar adanya akan bermuara kepada kejujuran dan keberanian. Yang benar harus dikatakan benar dan yang salah harus dikatakan salah sebagaimana hakikatnya. Dengan demikian setidaknya aturan akan tegak dan tidak terjadi kesemrawutan persepsi dalam menilai benar-salahnya suatu hal.

Agama saya mengajarkan bahwa ketika kebatilan itu terlihat maka kita wajib menghentikannya baik dengan tangan, ucapan, dan diam. Akan tetapi, ingatlah, diam itu adalah selemah-lemah iman. Maka, kita pada hakikatnya memiliki kewajiban untuk menegur segala hal yang tidak berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Bukan berarti orang yang jarang salat dan berdoa namun vokal dan kritis lantas diklasifikasikan sebagai pribadi yang zuhud. Akan tetapi, orang-orang yang merasa zuhud dalam ibadah dan hubungan vertikalnya dengan Tuhan seharusnya tidak diam ketika melihat kebatilan. Apabila itu tidak terjadi, maka kezuhudan yang mereka rasakan tidak lain adalah refleksi dari ego mereka sendiri yang merasa Tuhan hanya hadir untuk dirinya sendiri.

Tidak pernah terlambat bagi kita, termasuk saya, untuk menyatakan sikap secara jujur (walau menyakitkan) untuk memosisikan yang benar memang benar dan yang salah adalah salah. Tak ada bias interpretasi. Tak ada hipokrasi. Negeri dan lingkungan hidup kita masih memiliki harapan ketika masih ada orang-orang yang berpegang pada idealisme kebenaran.

Kita tentu tidak ingin lingkungan kita menjadi semuram kota Gotham kan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fakta dan Cerita di Balik Lagu-lagu OASIS

Bandung

Sandwich Generation My Ass