Romantisme Hubungan Ayah dan Anak Lelakinya

Entah kenapa saya terinspirasi menulis ini setelah melihat cuplikan trailer Mencari Hilai. Saya sendiri belum pernah melihat filmnya secara utuh. Namun begitu premis yang diangkat mirip dengan yang disuguhkan oleh Ismail Ferroukhi dalam filmnya yang tersohor: Le Grande Voyage. Premisnya simpel: hubungan ayah yang religius dan anak laki-lakinya yang sekuler. Lebih universal lagi, kedua film tersebut - Mencari Hilal dan Le Grande Voyage - membingkai secara jujur bagaimana realitas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari mengenai hubungan antara Ayah dan anak lelakinya.
Kita tentu sering mendengar epos dan cerita rakyat yang menyuguhkan kisah hubungan anak lelaki dan ibunya. Dalam banyak hal, anak lelaki memang digambarkan lebih dekat dengan ibunya. Adapun sosok ayah lebih sering tampil sebagai sosok pahlawan, pemimpin keluarga, hingga sosok tangan besi yang menerapkan disiplin berlebih pada anak lelakinya. Perdebatan adalah sesuatu yang lumrah terjadi antara Ayah dan anak lelakinya sebagaimana di-capture dengan baik oleh kedua film tadi. Kedua film tersebut mengambil setting religi sebagai hal yang menjadikan pemikiran sang Ayah dan sang Anak lelaki bertolak belakang dan menjadikan hubungan keduanya berjarak. Bahkan dalam beberapa hal yang lebih ekstrem, perbedaan pemikiran tersebut menjadikan kedua entitas ini apatis dan sinis satu sama lain.
Saya paham benar bagaimana saya sering berdebat hebat dengan ayah saya ketika saya sedang berada di rumah. Saya memiliki idealisme sendiri karena merasa telah melihat dunia dalam koridor kekinian. Sebaliknya, ego Ayah menyembul dan membuat dirinya hadir sebagai representasi konservatifisme masa lalu. Ayah sering memandang beberapa isu dengan koridor old-schoolnya serta pengalaman-pengalamannya dalam menyikapi isu tersebut ketika itu terjadi di masa mudanya. Saya, sebaliknya, membawa logika modernisme untuk mendebat pemikiran-pemikiran konservatif ayah saya. Hal yang lumrah. Bahkan boleh jadi inilah yang menjadi bahasa cinta antara Ayah kepada anak lelakinya, begitu pun sebaliknya.
Bahasa cinta yang 'keras' ini tentu terasa mencolok apabila kita membandingkan 'bahasa' yang umumnya digunakan anak lelaki untuk berkomunikasi dengan ibunya. Komunikasi anak-ibu ini lebih lembut, penuh dengan kemanjaan. Bahkan kadang saya merasa - entah anda merasakan atau tidak - saya akan selalu menjadi anak laki-laki ibu saya dan anehnya bahasa tubuh serta batin yang ditunjukkan oleh sang anak lelaki kepada ibunya seolah mengamini hipotesis ini. Anak laki-laki tidak akan sungkan berperan sebagai anak laki-laki sepanjang hidupnya -meskipun ia sudah bukan anak-anak lagi- ketika ia berhadapan dengan ibunya. Sebaliknya, Anak laki-laki akan memakai 'baju' independen dan otonomnya sebagai pria dewasa ketika berhadapan dengan ayahnya. Ya, anak laki-laki umumnya - secara jujur - tidak akan menunjukkan jati diri mereka sebagai anak di depan ayah mereka. Alih-alih, mereka akan menjelma menjadi 'another man in the family' dengan segala pemikiran dan kepribadiannya ketika berhadapan dengan ayahnya.
Uniknya, sang Ayah - sadar atau tidak - pun terkadang dengan sepihak akan terus menganggap sang anak lelaki sebagai jagoan kecilnya yang siap untuk menerima indoktrinasi dan pelajaran hidup dari sang Ayah. Maka di sini jelas terlihat, Meskipun berada dalam kesamaan koridor dalam memandang anak laki-lakinya, Ayah dan Ibu jelas menunjukkannya dengan cara yang berbeda. Ibu menunjukkannya dengan kelembutan dan kasih sayang yang eksplisit sedangkan Ayah menunjukkannya dengan keras, egois, dan kasih sayang yang implisit disebabkan oleh ketakutan akan ketidakmampuan sang anak untuk melalui hidup dan dunia yang liar yang pernah dialaminya pada masa muda dahulu. Ya, kasih sayang yang sama namun dengan antarmuka yang berbeda.

Ada romantisme yang terselip di sana, di dalam hubungan Ayah dan anak lelakinya. Ada perdebatan, adu mulut, dan saling mendiamkan yang membumbui hubungan kedua generasi tersebut. Namun, indahnya, secara bersamaan ada cinta yang dalam antara keduanya meskipun tak ingin ditunjukkan kepada satu sama lain.
Ayah tidak pernah menangisi anak lelakinya yang pergi merantau, namun dapat termenung berjam-jam mengkhawatirkan kemampuan anak lelakinya untuk bertahan dalam kehidupan yang keras. Sebaliknya, sang anak jarang menelepon dan bercakap-cakap dengan sang Ayah, namun selalu berusaha untuk dapat membuktikan dan memberikan kebanggaan pada ayahnya bahwa anak lelakinya dapat bertahan dalam hidup yang keras.

Ayah 'menangis' dalam kekhawatiran dan disiplin yang ia terapkan, sedangkan sang anak 'menangis' dalam pencarian kepemimpinan dan kepahlawanan dalam diri Ayahnya. Betapa romantisme yang indah ketika cinta tidak ditampilkan secara eksplisit tapi hadir dengan nyata secara kimiawi di antara kedua insan beda generasi ini. So, meskipun romantisme yang hadir terkesan kaku, hubungan ayah dan anak lelakinya tak dapat dikesampingkan begitu saja. Romantisme antara anak dan orangtuanya - baik ayah maupun ibu - hadir dalam keindahannya tersendiri.


Jakarta, 30 Juli 2015
Dedicated to my father.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fakta dan Cerita di Balik Lagu-lagu OASIS

Bandung

Sandwich Generation My Ass