Song of God

Ingatan saya melayang ke dalam sebuah ruang kelas sekitar tiga tahun lalu. Ketika itu saya, Ady, Januar, dan Ijul memang tengah duduk berdekatan di deretan bangku belakang ketika mata kuliah RPL OOT sedang berlangsung. Kami ketika itu tengah khusyuk membicarakan tentang perkembangan musik-musik luar tanpa sedikit pun memberikan perhatian pada kelompok lain yang sedang berpresentasi di depan kelas.

Menyenangkan memang memiliki teman-teman yang sehati dalam soal urusan genre lagu karena saya tidak begitu merasakannya ketika SMP dan SMA. Well, di SMA saya memang punya teman-teman terbaik sepanjang hidup saya, tapi tetap, selera saya mungkin terlalu abstrak dan mereka umumnya tidak mengerti.

Dulu, ketika akhir SMP dan awal SMA saya mulai terpengaruh band-band UK dan beberapa band asal AS seperti Queen, Coldplay, Radiohead, Oasis, Keane, Muse (UK), Jet dan Dashboard Confessional (AS). Pada saat itu, selera saya tergolong aneh karena di SMA saya aliran-aliran tersebut tergolong 'lembek'. Ketika itu, sekolah saya benar-benar terpengaruh band-band cadas seperti Sublime, Greenday, System of a Down, dan beberapa band lain. Malah mungkin, saya yakin tidak banyak yang mendengarkan Queen saat itu.

Barulah ketika masuk kuliah, saya bertemu dengan orang-orang ini yang syukurnya bisa mengakomodasi genre musik saya. Januar bahkan menginfluence saya dengan suntikan band-band indie berkelas dalam negeri seperti Efek Rumah Kaca, The Adams, Sore, Massromantic, serta White Shoes and The Couple Company. Ady pun di luar dugaan juga menggemari aliran Britpop Alternative yang diusung Radiohead. Well, Ijul mungkin tidak memiliki genre specific, tapi dia tahu apa yang kami bicarakan.

Pada saat itu, celetukan Ady memancing kami untuk mulai mengobrol. Ia membicarakan kian abstraknya lirik dan arah progres lagu-lagu baru Radiohead. Ia berkata pada saya, bahwa semakin lama Radiohead semakin tidak terkejar arahnya dan saya setuju. Saya jatuh cinta pada track-track awal mereka (Radiohead) pada saat masih murni mengusung britpop alternative meskipun saya lebih sering memandang mereka sebagai band Shoegaze. Tapi, toh memang tak ada batasan jelas tentang genre musik. Semua diklasifikasikan berdasarkan indera pendengaran dan perasaan.

Saya sependapat dengan Ady melihat saya tidak terlalu antusias lagi mendengar track-track Radiohead yang baru. Entah kenapa ketika Radiohead memasukkan unsur techno ke dalam komposisi lagu baru mereka, saya justru merasakan karya mereka yang terlalu abstrak dan kian divergen untuk bisa saya dengar secara normal. Sama seperti halnya sedikit kekecewaan saya terhadap Coldplay yang terlalu larut dalam eksperimen-eksperimen instrumental mereka yang membuat saya merasa taste Britpop itu kian luntur dari Chris Martin dkk.

Ady juga menambahkan musik-musik Radiohead kian dekat dengan warna Sigur Ros, kian abstrak, kian absurd. Saya, jujur tidak terlalu antusias dengan nama Sigur Ros karena toh saya tak pernah mendengar nama tersebut ketika itu. Perkenalan satu-satunya dengan Sigur Ros adalah ketika saya menonton film garapan Danny Boyle (Slumdog Millionaire, Trainspotting), 127 Hours. Film itu diangkat dari kisah survival seorang pencinta alam yang terjebak dalam bongkahan batu selama 127 jam. Filmnya sangat bagus dan track-track pendukungnya representatif. Apa yang anda ekspektasikan dari film yang didukung oleh aktor sekelas James Franco (Spiderman) dan seorang artis-sastrawan Amber Tamblyn? Tentu saja, film monumental langganan festival. Betul sekali.

Dan akhirnya pada satu scene di mana Aron Ralston, tokoh utama film ini, berhasil membebaskan diri dari bongkahan batu yang menjepitnya dengan cara memotong bagian tangannya. Itu adalah momen dan scene paling heroik sepanjang film yang pernah saya tonton. Bulu kuduk saya berdiri, mata berkaca-kaca adalah simtom sederhana untuk menggambarkan betapa heroiknya scene itu. Epik.

Scene itu didukung dengan baik dengan soundtrack yang benar-benar pas yang belakangan saya tahu adalah lagu dari Sigur Ros berjudul Festival. Musik yang abstrak dengan frekuensi vokal manusia yang mendekati nol persen. Semi instrumental. Dan Abstrak.

Momentum itu membuat saya merasakan bagaimana Sigur Ros benar-benar abstrak dan tak memiliki batasan verbal untuk menguatkan makna dari lagu Festival tersebut. Bahkan ketika saya mendengarkan lagunya di luar  dari film itu, saya masih tetap merinding. Mereka berkomunikasi dengan para pendengar lagu itu dengan cara yang saya pun tak bisa menjelaskannya. Abstrak namun magis. Anggaplah saya berlebihan, tapi saya akhirnya paham apa yang dikatakan Ady memang benar. Beberapa orang menyebut musik itu sebagai song of God, lagu dari Tuhan, demi menggambarkan betapa monumental dan mistisnya lagu itu, bagi yang benar-benar merasakan sensasi berbeda pada lagu itu.

Festival bisa jadi menjadi lagu pertama dan terakhir dari Sigur Ros yang saya dengar. Percaya atau tidak, saya pernah mencoba untuk mendengarkan track mereka lainnya, tapi terlalu abstrak dan tak bersahabat sama sekali dengan telinga dan dimensi hati saya. Meskipin begitu, tak mengurangi kekaguman saya pada band Islandia ini yang mampu mengkomunikasikan lagunya menjadi medium ambigu nan multiinterpretatif yang somehow terasa magis sekali, terasa personal, dan pada level tertentu terasa religius sekali.

Obrolan tiga tahun lalu di ruang kelas itu, akhirnya menggerakkan tangan saya untuk memutar Festival lagi.
Magis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fakta dan Cerita di Balik Lagu-lagu OASIS

Bandung

Sandwich Generation My Ass