Merekonsiliasikan Perbedaan

Saya paling bingung ketika ditanya dari etnis manakah saya sesungguhnya berasal.
Well dengan jujur saya jawab bahwa saya berdarah Aceh murni karena kedua orangtua saya memang asli Aceh.
Tapi ketika orang itu bertanya kembali, bisakah anda berbahasa Aceh?
Saya justru akan tersenyum kecut dan menjawab:
saya justru lebih tebiasa berbicara dalam bahasa Sunda, tentu saja Sunda kasar yang biasa
dipergunakan dalam pergaulan sebaya sehari-hari.
So, orang itu pasti akan bertanya lagi, kemanakah anda cenderung berafiliasi.
Maka untuk pertanyaan ini saya hanya akan tersenyum
karena memang saya tidak tahu ke mana diri saya berafiliasi
Saya berdarah Aceh murni dan lahir di Aceh
tapi sejujurnya, untuk pergaulan, saya lebih sreg dengan kawan-kawan dari Sunda

Tapi begitu bicara mengenai referendum, perjuangan hak Aceh, kejayaan Samudera Pasai,
dan bahkan Gerakan (yang dianggap) separatis,
maka saya akan tegas memunculkan diri saya sebagai ureung atjeh.
Lalu seberapa pentingnya itu?
Sebenarnya tidak ada.
Hanya sebagai pembeda dan alat untuk membedakan.
Ya, persis sama seperti agama.
Guru Bahasa Inggris saya yang berasal dari Polandia pernah menyatakan
Hal pertama yang orang Indonesia tanyakan padanya adalah apakah agama yang dipeluknya
Ya, kita seringkali memancang tegas-tegas perbedaan daripada membuka pintu rekonsiliasi yang damai
Perbedaan akan ada sepanjang zaman tanpa kita memperkarakannya
pertanyaan sekarang: Beranikah kita hidup damai dalam perbedaan
seolah perbedaan adalah urusan individu yang tidak ada kewenangan siapapun untuk menyentuhnya
Saya begitu damai bergaul dengan teman saya yang Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha
Meskipun jelas kami berbeda dan kami tidak memiliki toleransi untuk intervensi akidah
yang dilakukan satu sama lain
Biarlah urusan keyakinan menjadi milik pribadi
tapi ketika anda hidup di dunia yang paralel anda tidak boleh mempermasalahkannya
apalagi mengintervensi dan mengintimidasi untuk menyatukan perbedaan
itu konyol

Sejak lahir saya hidup di lingkungan Islam yang kental
sebagai orang Aceh, Islam bukan sekedar agama melainkan sudah merasuk menjadi
budaya dan bahkan jalan hidup
Saya bersekolah di sekolah Islam sejak kecil
dan ketika saya masuk ke sekolah menengah Negeri yang muridnya terdiri dari berbagai latar belakang
hal itu menjadi biasa saja.
Tapi mengapa, orang yang sejak kecil hidup di tengah-tengah keparalelan yang indah
menjadi anarkis dan ekstrimis seolah memandang semuanya
dalam satu perspektif yang intimidatif
Islam jelas tidak mengajarkan hal itu.

Saya justru belajar mengamalkan Islam dari teman-teman non Islam saya
saya malu terus terang, tapi itu kenyataannya.

Dari Zenfrison dan Markus, kawan saya yang Protestan dan Katolik
saya belajar untuk bersikap fleksibel dan supel dalam bergaul secara paralel
dan ini, kalau anda tahu, adalah yang diajarkan Baginda SAW kepada umatnya.

Dari Tono, kawan saya yang keturunan Tionghoa dan beragama Buddha
saya belajar tentang arti kesabaran dan kasih sayang
saya secara telak malu melihat diri saya yang meninjau aspek hidup Islam
justru diimplementasikan oleh teman-teman saya yang notabene non-Islam

So, janganlah melimitasi pandangan-pandangan anda terhadap perbedaan
pandangan-pandangan tersebut menjadikan anda sebagai pribadi yang chauvinis dan narsis
apa bedanya
anda menyerukan kutukan pada diskriminasi ras kulit
ketika anda mencaci maki agama lain
sungguh ironi yang tak terkira
menjadi hipokrit dan pembangkang pada fundamentalisme Islam yang hakiki

Mari berekonsiliasi
Mari berdamai
Lakum Dinukum waliyadin
Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku


Riki Akbar

Komentar

  1. there's my name over there..
    thanks kawan for this good point of view :D

    BalasHapus
  2. yeah jef...
    sori gw caplok namanya..hehehehe....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fakta dan Cerita di Balik Lagu-lagu OASIS

Bandung

Sandwich Generation My Ass