Kontemplasi dalam Kebiruan

Ya mungkin tiap orang berbeda jalannya. Apa yang saya rasakan sejak dulu adalah sakit karena selalu terkapar tersungkur dihantam kehidupan. Tapi biasanya bangkit lagi. Namun sudah beberapa tahun ini rasanya badan dan pikiran saya sudah tidak sekuat dulu lagi.

Kadang kita terbebaskan sendiri dengan filosofi minimalisme yang kita anut. Tapi toh, kita tidak hidup sendiri. Saya tidak bisa memaksakan sendiri apa yang saya anggap benar kepada orang-orang di sekitar saya termasuk istri, anak, orang tua dan adik-adik saya.

Dan pada titik inilah, mungkin titik di mana saya terhantam paling keras (setidaknya sampai detik saya menulis ini). Saya urung untuk bangkit, ingin berlama-lama merasakan sakit ini dan enggan untuk berdiri lagi. Saya terhantam oleh kenyataan yang keras bahwa saya tidak bisa membahagiakan orang-orang di sekitar saya dengan titel, gelar, atau apapun predikat yang dibebankan pada saya.

Saya ingin pasrah saja dan mulai berekonsiliasi dengan diri saya sendiri.

Saya bukan kebanyakan pegawai di instansi saya yang bisa membeli rumah dan kendaraan sendiri.

Saya bukan kebanyakan kawan yang sukses menjadi pembicara di konferensi dan memberi dampak yang luas kepada lingkungan dan entitas di sekitar saya.

Saya bukan pekerja yang baik, saya bukan achiever yang mumpuni.

Saya bukan menantu yang baik bagi mertua dan almarhum mertua saya, saya berpikir kalau (mungkin) mereka membuat kesalahan terbesar dengan menyetujui saya untuk menikahi putri mereka.

Saya bukan suami yang baik bagi istri saya, yang siap sedia memproteksi kebahagiaan secara materiil dan non-materiil sesuai standar kehidupan yang istri saya jalani.

Saya bukan ayah yang baik untuk anak saya. Saya contoh yang buruk bagi anak saya dalam hal karir dan pencapaian material. Maafkan Ayah, Fatih.

Saya jelas bukan anak yang baik untuk kedua orangtua saya yang bisa menjadi tameng finansial dan kehormatan keluarga yang dibebankan kepada saya jauh sebelum saya menyadarinya. Saya tidak bisa mengakhiri 'sandwich' ini. 

Saya mungkin penipu yang baik. Membuat topeng yang begitu rapi menyembunyikan kepayahan saya yang paripurna.

Orang-orang di sekitar saya mungkin membuat kesalahan dalam hidupnya dengan menyambungkan titik komunikasinya dengan titik komunikasi saya sehingga mereka harus menanggung kerugian mengenal saya dalam hidup mereka.

In short, I was and still am a disgrace to every living soul.

Saya tidak seharusnya mendapatkan semua ini. Saya mempertimbangkan bunuh diri tapi begitu takut akan ketidakpastian yang ada di balik kematian itu sendiri.

Maafkan saya, semuanya.

I can no longer live my life around your expectation. 

Let me live in peace, Let me disconnect. Let me set my own standard of happiness. 

Let me vanish, get away from your disappointment list as if you never heard of my name.

Tidak. Saya tidak menangis, ini bukanlah suatu manifesto kesedihan yang saya tulis.

This, in my opinion, is my humble version of seeking forgiveness. Seeking forgiveness upon one disappointment after another.

***

PS to my-future-self:

Well, Rick. You've been here. Try another withdrawal I guess. No need to worry about another future that is about to come. Try lowering your standard. Try to let things go. You're destined to do so. You cannot live like any other living person you look up to. Try, my friend, to calm.


Jakarta, November 16th 2020


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fakta dan Cerita di Balik Lagu-lagu OASIS

Bandung

Sandwich Generation My Ass