Jargon yang Merantai

Tanggal 17 Agustus telah lewat
Bendera-bendera mulai kusam dan hendak diturunkan
Dan akan terus begitu 
Dan akan selalu begitu
Bendera-bendera yang berkibar seiring dengan kerupuk yang diperebutkan
dan karung goni yang dijadikan simbol keceriaan.
Menyedihkan.

Bangsa ini masih terbelenggu jargon dan slogan
Setiap memulai kegiatan, khususnya di lingkup lembaga-lembaga pemerintah
Jargon, yel-yel, dan berbagai slogan berlomba-lomba untuk digubah
demi menunjukkan betapa nasionalisnya mereka dan kita
Namun demikian, begitu perayaan telah berlalu
jargon hanya tinggal pekik yang letih dikumandangkan
Sikap dan perbuatan kembali pada default mode-nya
Sikap yang bahkan bertolakbelakang dari jargon yang kita teriakkan sampai habis

Bukan, bukan berarti tidak perlu
Tapi harusnya jargon didudukkan sebagai pekik yang membungkus nasionalisme kita
nasionalisme yang tidak dibutakan oleh doktrin-doktrin usang yang disalahgunakan oleh penggubahnya,
melainkan nasionalisme yang luas, mengakar dan mengalir dalam aliran darah,
nasionalisme yang kuat dan tidak bisa dipisahkan dari pribadi dan institusi
nasionalisme yang termanifestasi
nasionalisme konkret yang terafirmasi dengan jargon - yang lahir sendiri dari rasa cinta yang tulus dan kritik yang konstruktif - 
bukan nasionalisme yang terikat dengan elemen-elemen seremonial
bukan nasionalisme yang terikat dan dipaksakan oleh tangan-tangan tiran

Bangsa kita harus mulai sedikit bertindak lebih sistematis
lebih konkret dan tidak terbelenggu oleh nilai-nilai abstrak
yang manis di lisan, elok dipandang mata
namun pelan-pelan mengikis apa yang signifikan
untuk tak sekedar menjaga amanah pendiri bangsa
akan tetapi mengangkat harkat, martabat, dan hajat hidup orang-orang yang bernaung di dalam ikatan bangsa tersebut.

Jargon cukup satu, perbanyak manifestasinya.

Just walk the talk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fakta dan Cerita di Balik Lagu-lagu OASIS

Bandung

Sandwich Generation My Ass