Predikat

Kadang sering saya merenung
buat apa Tuhan menciptakan peran-peran duniawi yang prestisius
buat apa ada berbagai macam titel, gelar, pangkat, dan jabatan tersemat mengapit nama lahir

Dulu, saya sama sekali tidak tertarik untuk masuk sekolah favorit
meskipun pada akhirnya tembus ke sebuah SMP favorit di Jawa Barat
namun, waktu itu saya semata-mata hanya mengejar hadiah playstation dari ayah
sebagai kompensasi atas nilai ujian yang lumayan.
Seiring berjalan waktu, pergaulan di SMP yang disesaki dengan murid-murid berbakat tersebut
lambat laun mempengaruhi cara pandang saya terhadap posisi dan kedudukan.
Ketika OSIS adalah lambang supremasi betapa prestisiusnya organisasi internal sekolah
maka saya bertekad untuk dapat mengejar posisi inti di OSIS
dan meskipun akhirnya berhasil menduduki ketua staf salah satu seksi bidang
saya pada akhirnya merasa hampa dan tidak mendapat apa-apa selain teknis penulisan proposal
mungkin niat saya yang terlalu jelek sehingga ilmu-ilmu organisasi tidak begitu terserap dengan baik waktu itu
Tapi, motivasi saya waktu itu tak lain hanyalah soal gengsi semata.

Ketika SMA, saya mati-matian pula mengejar untuk dapat masuk SMA paling favorit di Bandung
meskipun pada akhirnya gagal, saya diterima di salah satu SMA semimiliter di Cikarang
dengan fasilitas internasional yang baru saya kecap seumur hidup.
Namun, fasilitas dan titel sebagai siswa asrama hanya bertahan 6 bulan
dan kembali ke Bandung untuk bersekolah di salah satu SMA
yang bagi banyak orang, tidak memiliki prestasi akademis. Singkatnya, kurang bergengsi.
Tapi, harus saya akui, di SMA tersebutlah saya banyak bergaul dengan lingkungan yang lebih heterogen
dan bahkan bergaul dengan kelompok murid berbahaya. Ya, saya sampai pada titik ekstrim pergaulan.
Pelajaran dan pengalaman itu turut pula mempengaruhi kembali pola pandang saya terhadap sebuah makna gelar dan gengsi yang kerap disematkan lingkungan kita kepada kita.

Dan untuk itu, akhirnya saya sadar.
Saya tidak berminat untuk mendaftar ke ITB lewat jalur SPMB waktu itu.
Saat itu, saya telah dinyatakan lolos di STT Telkom dan saya tak berminat untuk melepasnya.
Lucunya, di kampus ini, saya bertemu dengan orang-orang 'gila' yang melepas ITB demi masuk di kampus ini
Karenanya saya sering mesem-mesem saja ketika mendengar beberapa oknum institut favorit tersebut
dengan pongahnya membanggakan almamater mereka.

Begitu pun dengan pekerjaan.
Kita begitu terobsesi dengan gelar dan penghargaan yang diberikan lingkungan kerja
saya harus akui, saya sempat menjadi salah satu yang berada dalam obsesi kuat tersebut.
Tapi, makin saya selami alasan saya untuk meraih jabatan dan posisi tertentu, makin saya tak mengerti
apakah ini yang benar-benar saya inginkan? apakah hal itu yang memberikan kesenangan hakiki?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut makin menggelayut seiring bertemu dengan orang-orang
yang memiliki perspektif jujur namun revolusioner serta realistis.
Saya mendapatkan bahwa tak masalah obsesi melingkari kepala dan hati asalkan kita punya alasan yang jelas untuk itu.
Sayangnya, saya belum menemukan alasan untuk itu.

Sampai saat ini saya bertanya-tanya
kenapa saya sering lebih bangga dipanggil dengan embel-embel engineer, programmer, developer, dll
ketimbang nama lahir pemberian orang tua saya.

Kusmayanto Kadiman, mantan rektor ITB, dalam sebuah kesempatan wawancara pernah mengklaim bahwa ia lebih baik disebut sebagai seseorang yang memiliki pemikiran seperti Doktor daripada disebut sebagai Doktor yang tidak memiliki pemikiran selayaknya pemikiran Doktor.

Yap, mengutip ungkapan Pak Kusmayanto Kadiman, gelar adalah sebuah bentuk neo-feodalisme yang lebih dikedepankan dibandingkan dengan kapabilitas seseorang.

Saya kira, quote di atas juga berlaku luas terkait gelar-gelar fana lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fakta dan Cerita di Balik Lagu-lagu OASIS

Bandung

Sandwich Generation My Ass