Night Plea

Malam yang mendung dan dingin seringkali berpengaruh pada melankolisme yang kerap datang tanpa diundang. Begitu pun dengan malam ini. Kabar buruknya, ya mungkin kabar buruk, saya harus membaca lagi materi-materi training minggu ini karena pada Senin saya harus menghadapi semacam evaluasi mingguan dari kantor. Saya sungguh ingin memberikan kesan yang baik sehingga setidaknya mata harus terjaga sampai jam sebelas malam ini. Semua pekerjaan rumah telah saya selesaikan. Tak heran, kamar saya agak lebih bersih daripada hari-hari kerja.

Semakin bertambah umur saya, semakin saya menyadari bahwa hal-hal yang dulu saya kenal telah berubah menjadi benda-benda kompleks yang menaungi pikiran dan hati saya. Saya pun terpaksa membuat semacam skenario pengelolaan pikiran terhadap beberapa hal yang kebetulan memang sama-sama urgent. Tak pelak, stamina saya minggu ini benar-benar tersita. Dan tebak, penyakit lama bernama homesick kerap kambuh ketika kita berada dalam keadaan lelah teramat sangat seperti ini.

Apapun, saya masih punya waktu untuk dia. Saya masih mengagumi dia dan saya masih menunggunya. Menunggu momen-momen di mana saya bisa ngobrol lagi dengannya meskipun secara maya. Harapan tidak akan pernah mati sampai terlontar penolakan eksplisit dari mulutnya. Sekarang yang sedang saya lakukan adalah kembali lagi berusaha untuk memenangkan hatinya. Well, meskipun kecil kemungkinannya.

Berbeda dengan dua tahun lalu, kali ini saya sudah mempersiapkan segalanya. Saya sudah mempersiapkan diri saya untuk tidak terlalu berharap. Kali ini saya sudah mempersiapkan diri saya seandainya skenario terburuk itu menimpa saya dalam waktu dekat. Tapi, saya tetap berusaha setidak-tidaknya dalam penantian saya selama ini.

Kali ini saya siap, saya ingin kembali  membuka jalan kembali. Karena perempuan ini yang  hati saya kehendaki dan saya harus sabar menanggapi segala responnya. Saya cuma ingin bersama dia lagi. Dan untuk itu, seperti yang sudah saya bilang, saya sudah mempersiapkan mental saya apabila konsekuensi terburuk pada akhirnya benar-benar terjadi.

Betapapun besarnya rasa cinta saya, saya kali ini mencoba belajar untuk tidak jadi lelaki yang selfish. Saya sadar dengan adanya kemungkinan dia menemukan laki-laki yang tepat. Kebahagiaan dia adalah segala-galanya. Dan saya sungguh ingin melihat dia bahagia. Jika dia pada akhirnya menemukan lelaki yang bisa membuatnya bahagia, saya siap menerima kenyataan dengan ikhlas. Saya sudah siap dengan segala konsekuensinya.

Semoga Tuhan menunjukkan jalannya pada saya yang sungguh tidak tahu apa-apa. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fakta dan Cerita di Balik Lagu-lagu OASIS

Bandung

Sandwich Generation My Ass