Lima Pemuda dalam Suatu Ruang Lembab

Ruangan tersebut penuh dengan asap rokok dan lumut yang gemar menempel pada dinding lembabnya. Lima kursi yang sudah lapuk dan berkarat tersusun rapi di dalamnya dengan lima pantat yang mendudukinya. Entah kenapa, ruangan yang lembab itu terasa hangat bagi kelima pemuda yang duduk di atas kursi berkarat di sebuah ruangan yang tidak ingin dimasuki banyak orang. Kelimanya terdiam dan saling pandang. Entah apa yang tengah mereka pikirkan, rencanakan, atau mereka fantasikan di dalam ruangan kecil sumpek tersebut.

Seorang pemuda berambut cepak berkacamata tiba-tiba angkat bicara. 
"Kita harus bertindak, kita tidak bisa lagi diam. Hidup bukan untuk diam, hidup untuk bergerak."

Seorang pemuda yang memakai jaket hijau lusuh menanggapi dengan dingin, "Aku sudah siap untuk bergerak. Badanku telah siap untuk bergerak. Aku muak dengan kalian yang cengeng! Aku sudah ingin bergerak, tapi kalian selalu menahanku dengan alasan-alasan sok intelek kalian! Aku sudah gatal ingin bergerak".

Seorang pemuda lain yang berparas paling bersih di antara kelima pemuda itu membetulkan posisi duduknya dan mulai berjalan pelan meraba lumut yang ada di dinding ruangan tersebut. 

"Aku rasa semesta memang tidak ada. Aku rasa semesta memang rekayasa. Dan kita adalah dari bagian yang tidak diharapkan dari suatu rekayasa".

Pemuda berjaket hijau lusuh dengan sigap bertanya, "Apa maksudmu? Kita bukan bagian yang diharapkan dari suatu rekayasa. Tapi kita adalah tumbal dari rekayasa itu. Kita dizalimi, kita diperlakukan tidak adil"

Pemuda berparas bersih segera memalingkan muka dengan pelan, menghadapkan wajahnya ke arah pemuda berjaket hijau lusuh tadi dan kembali meraba lumut di dinding ruangan itu. "Itu sama saja, initnya kita adalah bagian yang tidak diharapkan. Sekarang yang perlu kita perlihatkan pada lingkungan busuk di sekitar kita adalah, kita bukanlah bagian yang dipermainkan, kita harus menjadi suatu pusat perhatian sehingga mereka sadar akan apa yang mereka lakukan pada kita."

Kedua pemuda kembar yang sedari tadi diam mulai angkat bicara serentak, "Sadar atau hanya akan menambah daftar pertunjukkan tidak penting yang bahkan tidak sama sekali menginfiltrasi proses rekayasa mereka ?"

Pemuda berparas bersih tadi pun terdiam dan kembali duduk.
"Baiklah, tidak ada pilihan lain, pintu itu tidak bisa direkayasa, lantai yang kita pijak ini tidak bisa direkayasa, kenyataan bahwa kita merupakan korban rekayasa tidak bisa direkayasa, langit tidak bisa direkayasa, udara tidak bisa direkayasa, bahkan keindahan di luar sana akan menjadi milik kita, absolut. Sebab itulah pintu kita, bukan pintu mereka."

Keempat pemuda lain satu per satu bangkit dari empat kursi yang berkarat tersebut dan mulai keluar memegang gagang pintu, dan melihat ke luar. Sepoi-sepoi angin melambai seolah-olah mengundang mereka ke dalam suatu pesta mahabesar, pesta luar biasa, pesta menuju suatu kemerdekaan. Tak peduli itu kemerdekaan semu atau hakiki. Satu hal yang mereka yakini pintu keluar itulah yang mereka inginkan. Satu persatu pemuda melangkah ke luar dan tersenyum serta tertawa lebar. Angin menghempaskan molekul terkecil sekalipun dalam tubuh mereka untuk kemudian bertemu dengan makhluk-makhluk dekomposer dan orang-orang yang mengerubungi jasad mereka.

Tiba-tiba mereka sudah tidak berada di ruangan itu.
Ruangan itu, ruangan lembab berlumut itu kembali sepi. Sepi seperti sebelumnya dan kembali menanti kedatangan pemuda-pemudi yang terjebak dalam sebuah desperasi. Ruangan itu kembali sepi. Cuma angin sayup-sayup bertiup ke dalam.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fakta dan Cerita di Balik Lagu-lagu OASIS

Bandung

Sandwich Generation My Ass