Seimbang

Kebiasaan menyimpan sisa kembalian berupa uang koin dan kertas recehan di dalam sebuah plastik akhirnya mengantarkan suatu pelajaran di balik kekonyolan saya yang terungkap hari ini.

Kejadian ini sebenarnya berawal selepas maghrib ketika perut merengek minta diisi. Saya berpikir kalau saya harus mengambil uang di ATM maka uang kembalian saya akan menumpuk dan terlalu banyak recehan di kantong plastik saya. Oleh karena pertimbangan tersebut, saya mengambil 10 lembar uang duaribuan dan satu lembar uang limaribuan. Saya pikir uang ini akan lebih dari cukup untuk sekedar makan dan membeli beberapa kotak asam jawa.

Ok, perkara lancar hingga akhirnya saya sampai di warung mie. Karena rasa lapar yang begitu fatal, maka dengan brutalnya saya memesan indomie rebus dengan porsi double plus telor. Saking laparnya saat saya menunggu pesanan itu tiba, saya mencomot dua buah gorengan dan langsung memakannya dengan sporadis. Saya pikir paling-paling pesanan ini cuma berharga di bawah Rp 10.000,00. Jadi tak masalah. Masih underbudget lah.

Ketika selesai saya bertanya berapa harga yang harus saya bayar untuk pesanan saya+ 2 gorengan. Cukup murah dan sumringah ketika saya mengetahui duit yang saya keluarkan 'cuma' Rp 8.000,00. Tanpa ragu saya keluarkan empat lembar dua ribuan. Berarti di dompet saya tinggal 6 lembar duaribuan dan 1 lembar limaribuan. Daripada pusing menghitung, maka sekarang saya mengelompokkan lembaran uang tersebut menjadi 5 lembar uang duaribuan, 1 lembar uang duaribuan, dan 1 lembar uang limaribuan.

Bagus. Di sinilah kekonyolan itu terjadi. Ketika saya pulang, saya merasa haus dan tak jauh dari posisi saya ada sebuah warung. Tanpa ragu, saya mampir di situ. Saya ambil 2 kotak asam jawa + 1 kotak ultramilk (sori kalo nyebut nama merk). Total semua Rp 11.000,00. Saya pikir tak apalah toh hitung-hitung mengisi kulkas yang kosong. Okelah, ketika ibu pemilik warung menyebutkan harga yang harus saya bayar, tanpa ragu saya mengeluarkan 5 lembar uang duaribuan dan 1 lembar uang limaribuan. Saya berpikir untuk tidak mengeluarkan 6 lembar duaribuan karena bermaksud untuk memecah uang limaribuan. Begitu saya keluarkan uang tersebut, ibu pemilik tertawa kecil sambil berkata, "Kenapa banyak-banyak atuh, ini tinggal 5 ribu sama 3 lembar duaribu aja. Hehe..". Saya sadar, kenapa saya tidak terpikir untuk mengeluarkan 3 lembar uang duaribuan+ 1 lembar uang 5 ribuan? Alih-alih, saya mengeluarkan 5 lembar uang duaribuan yang telah saya bundel, dan 1 lembar uang 5 ribuan sambil berharap kembalian Rp 4.000,00. Saya pun ikut tertawa. Saya tak mengerti kenapa yang ada di kepala saya untuk membayar harga Rp 11.000,00 adalah dengan mengeluarkan uang sepuluh ribu + uang lima ribu yang mana uang sepuluh ribuan itu tanpa saya sadari adalah kumpulan 5 lembar uang duaribuan. Akhirnya saya ikut tertawa dan menarik kembali 2 lembar uang duaribuan milik saya.

Begitulah ketika kita terlalu terpaku pada pola-pola formal yang ada. Pola-pola formal yang terkadang mengurung pikiran kita dan melimitasi kreativitas kita. Sadar atau tidak sadar, kejadian seperti di atas merupakan manifestasi kekakuan pikiran kita atau bahkan dalam level yang lebih akut, merupakan manifestasi kesombongan kita dengan pengetahuan yang kita miliki. Sesungguhnya terkadang ilmu yang kita miliki bahkan bisa menjadi racun yang mengkontaminasi pikiran dan tindakan kita. Untuk itulah terkadang kita harus sesekali keluar dari zona baku yang mengurung kita. Bagaimana caranya?

Zona baku sebenarnya tercipta akibat kegiatan yang berulang-ulang secara konsisten. Ya, zona baku tercipta oleh rutinitas yang kita jalani. Zona baku terkadang membuat kita memandang satu persoalan dengan perspektif sains yang kaku seperti perspektif matematis, perspektif hukum, perspektif logis, perspektif algoritmis dan perspektif-perspektif lainnya yang umumnya hanya menggunakan satu sisi otak saja. Jika anda memandang sesuatu dengan otak kiri, maka anda seringkali melupakan kontribusi potensial yang dimiliki otak kanan atau pun  sebaliknya. Inilah yang terkadang luput dari perhatian kita sehingga memandang sesuatu seolah-olah hanya hitam dan putih, A dan B, atau malah memandang segalanya dikarenakan perasaan dan emosionalitas seperti rasa cinta, sedih, benci dan rasa-rasa subjektif lainnya.  Memang, ada beberapa persoalan yang memerlukan pemikiran yang strict dari salah satu sisi otak saja. Akan tetapi, persoalan yang menuntut kombinasi dan kolaborasi dari kedua sisi otak lebih banyak terjadi di dalam kehidupan ini.

Oleh karena itu, banyak tokoh-tokoh yang mengimbangi kegilaan akan formulasi-formulasi baku dengan keindahan-keindahan seni dan sastra atau bahkan Seniman-seniman yang tergila-gila pada sains dan teknik. Anda tentu ingat bahwa Sir Isaac Newton dan Alfred Benhard Nobel begitu tergila-gila. Anda tentu ingat bahwa Seorang Fasis garis keras sekejam Hitler pun mencintai lukisan. Anda tentu tidak lupa dengan Leonardo DaVinci yang juga seorang ilmuwan dan gemar akan matematika hingga lukisan-lukisannya tak jarang mendapat tinjauan dari aspek matematis bahkan kriptologis.

Intinya, kehidupan ini perlu keseimbangan. Kehidupan ini terjadi akibat keseimbangan. Kehidupan ini pun pada akhirnya terjadi ketika telah mencapai titik keseimbangan yang jenuh. Keseimbangan berarti tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Keseimbangan berarti melihat dari dua sisi. Keseimbangan berarti menempatkan sesuatu secara proporsional. Keseimbangan berarti tidak dzalim. Keseimbangan berarti pencapaian hakiki. Keseimbangan adalah kehidupan itu sendiri. Maka, marilah kita bersahabat dengan keseimbangan. Saya pribadi tengah belajar mencapai keseimbangan itu dan saya harap anda melakukan hal yang sama dengan diri anda sendiri. Happy Balance!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fakta dan Cerita di Balik Lagu-lagu OASIS

Bandung

Sandwich Generation My Ass