Universalitas Karma

Anda Percaya Karma?
Ketika saya ditodong dengan pertanyaan filosofis ini, saya mencoba menjawab diplomatis. Saya memang tidak benar-benar faham apa yang dimaksud dengan Hukum Karma. Namun, jelas, saya sering mendengarnya berkali-kali. Ironisnya saya kerap mendengar tentang "Karma ini" setiap ada nasihat mengenai sesuatu atau lebih ekstrim, pada saat seseorang merasa disakiti dan kemudian merilis sumpah serapah yang membawa-bawa kata "karma".

Menurut Wikipedia, Karma berasal dari konsep Hindu yakni tentang perbuatan. Sederhananya, karma ialah siklus alami antara apa yang kita perbuat dan apa yang kita dapat, apa yang kita berikan dan apa yang kita terima, apa yang kita sebabkan dan apa akibat yang kita terima.

Meskipun konsep ini diklaim berasal dari konsep Hindu, namun saya memastikan pada seluruh keyakinan dan agama terdapat konsep ini. Sebagai Muslim, tentu anda dapat melihat makna komprehensif dari hukum karma ini pada Surah Al-Zalzalah (silakan buka Quran). Jadi, karma sebenarnya adalah konsep universal dan global.  Pada zaman sekarang, konsep ini dikenal juga sebagai konsep Kausalitas.

So, apa yang menarik dari karma?
Karma sebenarnya merupakan manifestasi dari makna keseimbangan yang hakiki dan alami. Karma adalah kontrol hidup bagi kita untuk menyadari setiap perbuatan kita suatu saat akan berbuah pada kompensasi yang akan kita terima. Baik-buruk kompensasi itu tergantung dari baik-buruk perbuatan yang kita lakukan. Bahkan percaya tidak percaya, karma telah merasuk menjadi formulasi sains dengan tingkat kebenaran yang terbantahkan.

Anda tentu ingat Asas Kalor yang diajukan oleh Joseph Black. Kalor yang diterima ekuivalen dengan kalor yang dilepaskan. Simpel tapi bermakna dalam.

Akan tetapi, banyak orang yang tidak memahami dan meresapi apa yang disebut karma ini. Banyak dari kita bahkan mengabaikan konsep universal ini. Banyak dari kita yang mempercayai konsep ini lebih cenderung berbau metafisik dan spiritual. Padahal tidak! Joseph Black jelas-jelas menyiratkan itu!

Dengan pengabaian itu, seringkali orang bertindak seenaknya. Bertindak melampaui batas dan melanggar hak-hak orang lain. Menyakiti orang lain demi kepuasan personal atau hasrat yang buruk dan tidak habis-habisnya.

Sebagai contoh, baru-baru ini kampus saya dihebohkan oleh peristiwa plagiarisme sebuah paper ilmiah yang dilakukan oleh seorang dosen. Paper tersebut sedianya akan disiapkan sebagai disertasi demi memperoleh gelar doktoral. Tak disangka tak dinyana, paper itu akhirnya terdeteksi menjiplak sebagian besar isi paper ilmiah dengan tema serupa yang telah dikreasi oleh seorang akademisi asal Austria. Apa yang terjadi selanjutnya? Oknum dosen ini terpaksa melepaskan gelar Master yang telah ia genggam karena almamaternya mencabut gelar Masternya dan melakukan investigasi lebih lanjut pada almamater tempat ia meraih gelar sarjananya. Tak cuma itu, ia dimundurkan dengan tidak hormat sebagai tenaga pengajar di kampus kami dan istrinya, yang juga dosen di kampus kami, merasakan rasa kecewa, sedih, dan malu yang luar biasa. Bahkan, ia harus menghadapi pengucilan akademis dari civitas akademik tempat ia berafiliasi. Tragis.

Tapi apakah fair? 
Saya menjawab ya. Itu konsekuensi logis dari tindakan yang ia ambil sebelumnya. Itu kompensasi yang fair atas tindakan tersebut. Ia beruntung karena segera mendapat "teguran" dari Yang Maha Kuasa. Dan itulah salah satu manifestasi karma.

Lalu ada lagi cerita soal seorang lelaki yang bernama A (bukan nama sebenarnya) yang merebut B (bukan nama sebenarnya) yang merupakan kekasih dari C (bukan nama sebenarnya). Bahkan jauh ketika B dan C masih berhubungan, B telah "main api" dengan A.  Akhirnya C dicampakkan oleh B dan berujung dengan naik pelaminan bersama A. Adilkah?

Untuk kasus ini, saya cuma bisa menjawab Tuhan Maha Adil. Saya yakin suatu saat karma itu akan datang sendirinya pada A dan B, namun mungkin tidak saat ini. Bagaimana dengan C? Adilkah? Sekali lagi saya menjawab Tuhan Maha Adil. Mungkin ini cara Tuhan untuk memberitahukan C bahwa B bukan yang terbaik. Mungkin Tuhan tengah menyiapkan yang terbaik bagi C sehingga ketika yang terbaik itu datang, C akan merasa sangat bersyukur berpisah dengan B. 

Lalu, bagaimana dengan A dan B? 
Menurut saya, karma tidak harus selalu langsung bereaksi ketika suatu perbuatan terjadi. Akan tetapi yakinlah, perbuatan itu suatu saat akan mendatangkan kompensasi sepadan bagi orang yang berbuat. Semua cuma masalah waktu. Kita tidak tahu setelah A dan B menikah apakah rumah tangga mereka akan harmonis. Seringkali kisah seperti ini berputar dan kembali pada A dan B sehingga suatu saat B akan ditinggalkan A dan itu karma bagi B. Simpel tapi mengandung berjuta konsekuensi dan implikasi.

Itulah sebabnya kita sering mendengar teman, orangtua, saudara menasihati kita untuk memikirkan konsekuensi atas perbuatan yang kita lakukan. Itulah sebabnya "karma" selalu dilontarkan seseorang yang teraniaya sebagai "tameng" atas rasa sakit yang ia derita.
Permasalahannya sekarang, ketika kita menyakiti orang lain, sanggupkah kita menerima karma yang akan mengembalikan rasa sakit itu kembali kepada kita? So, sebelum anda menyakiti seseorang, anda lebih baik pikir-pikir lagi. Karena Karma adalah mutlak. Cuma masalah waktu untuk membuktikannya datang pada kita.
Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fakta dan Cerita di Balik Lagu-lagu OASIS

Bandung

Sandwich Generation My Ass