Paradoks Kesepian
Courtesy: statusmind.com |
Dulu gua beranggapan kalo istilah
kesepian di tengah keramaian itu istilah yang aneh. Paradoks. Gimana mungkin
bisa ada perasaan kesepian di tengah keramaian orang atau acara misalnya. Agak
weird. Tapi, sadar atau nggak, makin tua umur, istilah yang mungkin gua anggap
dulu aneh tiba-tiba jadi relevan dengan kekinian.
And before you go any further I have to tell you this: No, it’s not
about being single for a long time. Loneliness, as we know it, has broader meaning
than what most people think.
Let’s turn back our memories to the time when we were, say, 17.
my contemplation of life was started when I turned 17.
Usia 17 adalah usia ketika gua
baru lulus SMA dan mulai mikir gimana cari duit sendiri. Ada sensasi yang beda
waktu itu. Ketika kebanyakan alumni lain gerilya ke tempat-tempat les buat
persiapan SPMB (sekarang SNMPTN), gua yang udah dapet kampus waktu itu,
menghabiskan sebagian besar waktu gua di rumah. Nonton tv. Main games.
Jalan-jalan sendirian ke Gramedia di depan BIP (masih ada gak ya?). Jalan-jalan
di trotoar balai kota. Gak ada tujuan. Dan pada saat itu gua mikir gimana bikin
liburan 2 bulan sebelum perkuliahan dimulai jadi waktu yang produktif karena
saking bosennya sama rutinitas meaningless yang gua lakuin tiap hari waktu itu.
Yes, tiap hari.
Gua mulai mikir gimana caranya bisa
kerja part time atau kerja di McD,
KFC, dkk buat nambah tabungan gua. Waktu itu bertepatan dengan titik nadir
ekonomi keluarga jadi gua ga bisa semena-mena minta sama orang tua gua buat
beli barang-barang yang pengen gua beli. Gimana mau minta, uang pangkal kuliah
aja orang tua terpaksa ngutang waktu itu. Berangkat dari pengalaman yang gak
enak itu gua mulai ngelamar kerjaan jadi apa aja. Seinget gua, banyak banget
lamaran yang gua masukin dari mulai kasir Carrefour Kiara Condong, Waiter di salah satu Karaoke Keluarga
gitu (rekomendasi temen gua yang bokapnya waktu itu punya tempat karaoke
keluarga), sampe guru privat. Herannya, ga ada satu pun yang lewat. Walhasil, gua
pada akhirnya tetep ngabisin liburan 2 bulan itu dengan rutinitas di atas tadi.
Tapi, lucunya, rutinitas tadi
bikin gua berkontemplasi terlalu dalam untuk anak seumuran gua waktu itu. Gua mulai
mikir yang aneh-aneh. Gua mulai mikir kenapa kita harus kerja. Gua mulai mikir
gimana kalo nanti gua ga dapet kerja dan ga punya sumber penghasilan ketika
orang tua gua pensiun. Gua mulai mikir gimana kalo gua ga bisa kuliah karena
minimnya dana waktu itu. Gua mulai mikir gimana kalo gua terus jalan di tepi
trotoar Balaikota-Taman lalu lintas, ngeliatin orang-orang beraktivitas.
Pokoknya pertanyaan-pertanyaan aneh lah.
Tapi, sayangnya, gua ga punya
media untuk mendiskusikan pertanyaan dan ketakutan-ketakutan gua. Gua terlalu
segan untuk ngomongin pertanyaan itu sama bokap. Gua juga ga mau bikin nyokap
kepikiran. Tapi, gua juga ga bisa ngomong ke temen-temen gua karena mereka, apparently at that time, lagi sibuk
ngurusin ujian seleksi masuk dan lain-lain.
Entah kenapa, idiom kesepian di
tengah keramaian itu jadi bisa dirasain waktu itu. Gua dikelilingi orang-orang,
lebih-lebih keluarga gua. Tapi, gua ga bisa ngomong atau diskusi ke
siapa-siapa. Adek-adek gua waktu itu masih terlalu dini untuk gua ajak ngobrol
tentang observasi gua soal kehidupan yang gua liat dari lingkungan sekitar gua.
Pendeknya, gua waktu itu sendirian.
Dan entah kenapa, sensasi yang
sama gua rasain lagi mulai tahun keempat gua kuliah. Mulai dari waktu ngegarap
skripsi sampe gua kerja, pertanyaan (atau lebih tepatnya kegelisahan sih) makin
jadi tiap hari. Pas banget gua waktu awal skripsi baru putus. Pertanyaan gua
waktu itu nambah satu: siapa sebenernya yang bakal nemenin kita hidup nanti.
Dan semua pertanyaan itu ngumpul terus seiring kelarnya skripsi gua. Gua, entah
kenapa, jadi sering ngelamun sampe dini hari gitu. Gua bingung, tapi gua ga tau
harus ngomong atau nanya ke siapa.
Sensasi ‘kesepian’ ini kadang
hilang di hari kerja soalnya gua udah tenggelam duluan sama tuntutan
atasan-atasan gua di tempat kerja. Tapi, begitu masuk sabtu-minggu, pertanyaan-pertanyaan
dan sensasi kesendirian itu muncul lagi. Lebih-lebih karena sekarang gua hidup
terpisah dari orang tua gua dan gua ga terlalu punya banyak temen main di
kantor. Sabtu-minggu, bagi gua, bukan jadi hari libur dimana kebanyakan orang
ngabisin waktu bersenang-senang. Sabtu-minggu, bagi gua, adalah hari penuh
pertanyaan, kontemplasi, sama kesendirian karena gua ga tau harus ngapain buat
ngabisin sabtu-minggu atau ga tau harus kemana. Konsekuensinya, penyakit mager
dan stay di kamar makin akut. Tingkat ke-introvert-an gua menukik dan gua mulai
putus asa sama kehidupan sosial gua yang buntu.
Di titik inilah, gua ngerasa
idiom kesepian di tengah keramaian jadi masuk akal. Di titik inilah, gua mulai
menghargai kebersamaan gua dengan keluarga (orang tua dan adek-adek gua) yang
dulu, mungkin, gua anggap angin lalu. Di titik inilah, gua keinget temen-temen
kecil gua. Di titik inilah gua bener-bener berharap gua cepet ketemu pasangan
hidup gua.
Gua mungkin ga sendirian. Di luar
sana ada jutaan introvert akut yang mungkin ngalamin kesepian yang jauh lebih
mengerikan. Di luar sana ada ribuan introvert yang berharap dilahirkan sebagai
ekstrovert. Di luar sana, ada keramaian yang ga terjangkau oleh kami-kami yang
ironisnya terkadang ngerasa nyaman dengan kesendirian dan kesepian yang
mensunyikan. Di dalam sini, ada kegembiraan dan keriangan yang ironisnya ga
bisa kami bagi pada siapapun.
Di titik inilah, mungkin kita
bisa lebih menghargai kebersamaan tadi. Di titik inilah, mungkin kita lebih
menghargai hidup yang kadang terasa lambat namun sebenernya mengurung kita
dalam bilik kesendirian sampe kita sadar kita udah terlalu tua buat semua ini.
I’m not depressed anyway. I’m just feeling a little bit lonely inside.
I have no idea to whom I may discuss these things. That’s why I’m writing this
note.
Komentar
Posting Komentar