Untitled Project: Towards Ending

 Jafar terkesiap.

"Kau akan ke mana? Apakah Dia akan membuatmu senang? Sadarlah, X. Takkah Kau terpikir bahwa Dia hanya menginginkan hal lain saja darimu? Tubuhmu, uangmu, atau apalah?", Jafar bertanya dengan nafas memburu. 

Ia tahu Ia cemburu. Ia tahu ini adalah kiamat kecil baginya. Sekilas tampak dalam kepalanya bahwa besok Ia mungkin tidak akan bertemu lagi dengan X. Bayangan yang dipenuhi dengan gantungan awan yang lusuh ketika pagi membuka halaman baru baginya di keesokan hari. Tidak akan ada lagi X yang tersenyum dengan senyumannya yang paling manis menurut dirinya.

"Aku hanya kehilangan rasa cintaku untuk dirimu, Jafar. Aku tidak menghilang. Aku hanya jatuh cinta. Tetapi bukan kepadamu"

Jafar berupaya kuat agar air mata tidak jatuh dari kelopak matanya yang kapalan.

"Aku kira perasaanku Kau sambut, X. Kita pergi bersama ke mana-mana. Kita menghabiskan sebagian waktu kita berdua. Aku yang meminjamkan telinga bagi setiap ceritamu"

X menghela napas. Dia sudah mengantisipasi kemungkinan bongkahan amarah yang meletup dari diri Jafar.

"Cinta itu misterius, Jafar. Dan Kau harus menerima itu. Terkadang Kau hadir untuk mengusir kesepianku. Tapi, untuk hidup terus denganmu, menghabiskan seluruh waktuku, bukan hanya sebagian, denganmu. Itulah bayangan yang tidak pernah muncul dalam kepalaku. Tubuhku menolak menciptakan visualisasi itu."

Jafar tak puas. Ia kembali memburu.

"Tak apa. Mudah-mudahan suatu waktu nanti, Kau akan berubah pikiran. Dan ketika itu terjadi, Kau beri tahulah aku! Aku akan siap untuk memulai dari awal lagi. Belajar lagi mencintaimu. Belajar lagi membuatmu tergelak dengan leluconku. Meluaskan kembali telingaku untuk cerita-ceritamu. Mewakafkan diriku hanya untukmu."

Kali ini air mata itu melaju deras menuruni lereng-lereng wajah Jafar. Hidungnya mulai dipenuhi ingus. Matanya yang tegas mendadak sayu. Beratnya beban dalam kepalanya dengan sendirinya membuat kepalanya sedikit tertunduk. 

Sementara angin di luar kian menusuk. Raungan sepeda motor dan mobil yang terdengar dari kejauhan membuat susasan tidak lebih syahdu. Temaram lampu jalanan di sisi-sisi trotoarlah yang justru menyelamatkan Jafar dan X dari kegelapan dan kesunyian yang lebih dalam. Meskipun jauh di lubuk hati Jafar, gemuruh beradu-adu dengan kesedihan.

X tahu, ia harus diam sejenak. Otaknya bekerja keras menjalin kata-kata yang tepat, persis seperti anyaman ketupat yang dibuat Ibunya ketika malam takbiran. Laki-laki di hadapannya ini berbeda. Di balik badan legam dan air muka tegas yang terbentuk dari kerasnya hidup di Ibukoa, ada ketulusan yang menyeruak dan menyelimuti badannya. 

"Kemungkinan itu selalu ada, Jaf. Mungkin pilihanku salah di masa depan dan aku akan mencarimu kembali. Tapi, saat ini aku tidak tahu. Apabila kemungkinan itu terjadi, tidakkah Kau berpikir bahwa aku pun bisa saja merasaa pilihanku salah dengan mencarimu kembali?"

Jafar terkesiap. Kedua kalinya.

Apa yang dikatakan X menyadarkannya. Ia dengan gagah berani menyajikan opsi dan probabilitas kepada X tanpa Ia sadari bahwa Ia mungkin menjadi ekses dari opsi dan probabilitas itu sendiri. Ia putus asa dan meraih jerami manapun yang Ia bisa tarik sebelum tenggelam dalam kenyataan yang pahit. 

X, dengan lembut, kembali membuka mulutnya.

"Jalani saja hidupmu. Karena kalau Kau menungguku, Kau hanya membuang waktumu. Bahkan bila itu benar -aku salah dan mencarimu kembali-, Kau tidak akan pernah tahu berapa lama sampai hal itu terjadi -apabila itu memang benar-benar terjadi-. Kau tak pernah tahu ke mana waktu akan membawamu. Mungkin, ketika Kau pulang nanti, Kau akan bertemu dengan gadis lain yang menyejukkan hatimu. Mungkin."

Jafar juga diam sejenak. Apa yang dikatakan X ada benarnya. Dan kini gilirannya untuk mengakhiri debat kusir ini dan segera pergi untuk menghindari luka yang lebih dalam lagi.

"Aku akan menunggu. Aku tidak mau bertemu dengan gadis lain. Tapi, Kau benar. Aku tak akan memaksamu lagi. Tapi Kau tidak bisa menghalangi cintaku, betapapun hancur bentuknya. Anggap saja, cinta yang kuberikan ini gratis. Karena Aku tak tahu lagi harus kuberikan kepada siapa. Saat ini, yang penting Kau bahagia dengan pilihanmu. Meskipun itu artinya Aku akan terus menangis setiap malam mulai malam ini.Meskipun itu artinya, Aku harus membuat visualisasiku sendiri tentang semesta paralel di mana Kau membalas cintaku."

***

Malam kian larut. Angin menari-menari mengiringi setiap sepeda motor dan mobil yang membelah jalanan di depan Gandaria City. Bersama barisan sepeda motor dan mobil itulah, Jafar menangis dan tak henti mengobati hatinya sendiri. Lampu jalanan yang kian temaram dan hujan, yang sialnya, mulai turun memaksanya bergegas menghadapi hari yang baru dengan luka permanen.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bandung

Random Sunday

Home: After My Father Passed Away