Jurnalisme yang Mengancam
Sejatinya, tugas para buruh jurnalistik adalah
tugas mulia. Sebagai medium seperti corong penghubung antara masyarakat
grass-root dengan kaum
birokrat. Tugas mulia yang kadang diemban terlalu berat oleh individu-individu
yang berkecimpung di dalamnya dan menjadikannya sebuah lelucon tak lucu di
tengah masyarakat yang kian kritis dan pintar.
Memang
benar, salah satu fungsi media adalah sebagai kontrol sosial. Kontrol politik
pun kadang dimainkan dengan apik oleh para awak media. Tentu saja dengan harus
tetap berada dalam koridor penilaian objektif yang tidak mengabsorpsi
kepentingan-kepentingan politik itu sendiri. Sayangnya, jurnalisme yang kritis
di Indonesia perlahan menjadi jurnalisme yang investigatif. Ya, semacam
jurnalisme yang mengancam.
Saya
tentu tak usah menyebut nama dari beberapa stasiun TV yang berkonsentrasi pada
berita sebagai menu utama. Saya dan Anda mungkin sama-sama tahu. Betapa
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh wartawan era kini tak ada bedanya
dengan proses investigasi di kamar gelap oleh para polisi-polisi sangar.
Investigasi sakit yang terkemas dalam jas dan blouse yang gemerlap dengan
setting di gedung-gedung sentra bisnis dan studio-studio megah.
Pertanyaan
memojokkan, berita-berita yang disetir, asal njeplak tanpa referensi akurat menjadi gaya-gaya memilukan para
awak jurnalis yang ironisnya bekerja untuk beberapa stasiun televisi yang berkonsentrasi
pada penyajian berita. Proses mengedukasi masyarakat yang menyaksikannya, saya perhatikan tidak ada bedanya dengan proses brainstorming
yang terjadi beberapa waktu lalu di salah satu sekolah kedinasan di Jawa Barat.
Menyedihkan? Ya tentu saja, tapi apa yang bisa kita lakukan ketika
taipan-taipan media yang berafiliasi dengan aliran politik tertentu dengan
seenak perutnya mendikte dan memfilter informasi sehingga tak ada yang utuh
bagi kita, masyarakat yang menjadi penontonnya. Beberapa dari kita, yang
memiliki uang lebih, memilih untuk berlangganan saluran televisi berbayar untuk
memuaskan dahaga akan berita yang objektif yang disampaikan oleh pewarta asing.
Pertanyaannya,
apakah berita-berita yang disampaikan oleh pewarta asing itu objektif? Sayangnya,
tidak juga. Agenda politik tidak hanya berjalan di Indonesia tapi juga sedang
berjalan dalam konteks yang lebih masif hingga turut pula mencapai level agenda
geopolitik global. Sedihnya, jurnalisme sedang berada di jalur yang tidak
jujur.
Beberapa
saluran televisi non-mainstream mungkin
menyajikan wadah berita yang objektif dan berimbang namun selalu ada pertanyaan
lanjutan: berapa banyak saluran televisi seperti itu dan bagaimana kita tahu mereka
cukup proporsional dalam menyajikan agenda beritanya? Tak ada yang tahu pasti.
Saya pun sudah cukup skeptis dengan pongahnya reporter dan host talkshow
kampungan yang berseliweran di televisi kita. Kita berada di zaman di mana
informasi menjadi komoditi umum dan tidak terproteksi sehingga siapa saja bisa
memainkannya sebagai senjata. Cara paling sederhana dan primitif adalah dengan
menyaring informasi dari beberapa sumber dan tidak berpaku pada satu sumber
saja dengan harapan meminimalisir terjadinya subjektifitas dari sumber tunggal
tersebut.
Well, apapun itu, dengan latar belakang pendidikan
yang cemerlang, seharusnya mereka –para awak jurnalistik- bisa lebih cerdas dan
idealis dalam mengemas dan menyajikan berita. Karena berita bukan sebagai alat
propaganda. Berita adalah medium pembentukan opini otonom bagi masyarakat tanpa
perlu campur tangan dari para pekerja jurnalistik tersebut. Berita adalah
seharusnya menjadi media edukasi yang efektif untuk menjadikan masyarakat kita
terdidik dengan paradigma yang lebih terbuka dan kritis, bukan sinis dan apatis.
Komentar
Posting Komentar